Jumat, 07 Agustus 2009

Adpertasi W.S.RENDRA

oleh Alek Brawijaya, Siswa MAN Model Sekayu

kadang sosok penyair peka terhadap ramalannya
tergores dari aksara dan kalimat sajak
hasrat menggugah bayang
tentang pikir dan getaran tangan

bukan realis yang tergambar
dalam coretan lukisan
hanya saja ingat akan waktu
singgah di istana ketiga

w.s.rendra ingtlah tentang sajakmu
"ma bukan maut yang menggetarkan hatiku"

rumput itu telah siap sayang
untuk meninggalkan jejakmu
dari tanah kuning

kaupun menimbun ingatanmu
yang telah habis dimakan usia
sedangkan hanya menunggu dan menunggu
langkah yang datang menghadiri tangis di balik tirai

hanya tersisa harap
jikalah waktu masih ada tetesan
tentang kau kembali lagi

ucapku
singgahlah dengan damai
laksana ilalang menuju atasnya

Kamis, 06 Agustus 2009

Sayap Jibril

(Cerpen Wahyu Ramadhan, SMAN 2 SEKAYU)

Masih berjalan menuju suatu perbuatan antara hak dan kebatilan. Kususuri tiap terjal batu jalanan gersang dimana kehidupan tak memunculkan batang hidungnya.

Kulalui lalang kering yang nampaknya takkan melestarikan jenisnya lagi. Mata ini mulai pedas, merah, meleleh bagai terkena jilatan api neraka.

Pandangan ini pun mulai kabur entah kemana arahnya. Hingga berhenti pada satu titik terang, dengan dihiasi sedikit bercak-bercak putih. Angkasa. Lalu disusul dengan datangnya kegelapan murni karena kelopak mata yang tlah terlalu lelah memanggul badannya sendiri.

Saat terbangun aku sadar bahwa telah ditemani seorang sahabat berwujud pria yang baik hati, nampaknya. Manusia ini memandangku dengan tatapan yang teduh, melebihi teduhnya pohon beringin yang terbesar sekalipun. Lalu ia bertanya kepada ku .

“Apa yang membuatmu bisa hidup di dunia ini?”

“Mungkin hanya untuk menghias dunia wahai teman.” jawabku.

“Apakah aku tampak sebagai seorang teman bagimu?”

“Apa kau juga ingin ku panggil tuan,wahai teman?”

“Engkau ini hina. Bahkan tak halal untuk disembelih.”

“Mungkin tuanmu bermaksud lain atas keberadaanku.”

Sehabis itu aku terus berjalan bersama manusia ini. Aku terus memandangnya ketika lapar ataupun dahaga. Hingga rasa lapar itu sendiri akan malu untuk menampakkan wujudnya lagi.

Setelah beberapa lama menjalani kehidupan dengan seorang sahabat, aku lelah juga. Heran melihat tonjolan layaknya orang bungkuk yang ada di punggungnya.

“Wahai sahabat, tonjolan apa yang ada di punggungmu itu?” tanyaku padanya.

“Sesungguhnya akan terjadi keburukan lebih dari yang engkau bayangkan jika kau ingin melihatnya.“ ujarnya.

“Dunia ini begitu luas, aku tak mampu jika harus terus berjalan dengan hanya berteman sepi. Mungkin akan lebih bahagia jika ada yang baru.” kataku lagi.

“Apa kau sudah tak percaya lagi padaku?” katanya sedikit membentak.

Aku hanya berjalan, berjalan dan terus berjalan mengikuti langkahnya. Hingga puluhan, bukan. Ratusan tahun! Sampai akhirnya aku tergeletak terlentang, pertunjukan ynag jarang terjadi.

Cepat ia berbalik dan melihat kepadaku. Pandangannya sedikit cemas, walaupun tetap terlihat tenang tanpa keringat. Dibukalah sebelah punggungnya yang menonjol itu. Kemudian direntangkan. Sebuah sayap. Begitu besarnya, menyelimuti bumi. Bayangan hitam yang tadinya akan dating menghampiri, terhalang oleh sayap yang begitu besar itu. Mataku tetap menyempit menuju pejam.

“Jibril, katakan pada tuanmu bahwa bumi ini begitu sempit.”

“Darimana kau tahu aku Jibril?” katanya.

“Kau kira sayapmu itu kurang besar untuk ku lihat. Sudahlah tak usah kau halangi, memang sudah waktuku!”

Anjing yang mati sia-sia.

Hati Bersinar

(oleh sahri Romadhona, siswa SMAN 3 Babat Toman)

Cinta dihati
Berbekas seperti bakteri
Semakin banyak materi
Cinta penuh arti
Membutuhkan bukti
Jangan takut patah hati
Berpeganglah ilahi
Harus punya berbudi pekerti
Belajarlah mengerti

Garis Renungan

(oleh alex brawijaya)

di bawah renungan bulan
menyalak raung pembalas
arah utara dan selatan
membradu di dalam jarak

tanpa sedikitpun jejak fragmen berdiri
antara kau dan dia sudah tertakdir garis
saling menjaga batas

bila saat nanti saling
bercengkram
memakan
bahwa itu jalan

Melalui Ricik Akar

(oleh mutiah ayu rasta)

di luar : debu tanah (yang hidup menunggu kalaukalau langit menangis) menatap basah tentang kerinduan daun yang patah, bunga yang menajamkan warna, lalu membelai kita sejurus, juga masuk ke mulut jendela.

angin yang tibatiba lewat, setelah membelai kita, dan bersama gerainya badanbadan tanah, lekuklekuk dan cacing tanah, mengabarkan reruntuhan api yang menandakan kehidupan baru, yang pada mulanya tidak ada, hanya kosong semata.

lalu setelah yang terjadi pun terjadi, segala tanya : pada mulanya, debu dan tanah terpisah, di atas dan di bawah. apa yang membuatnya rindu pada daun dan bunga tanpa patah dan warna, lalu tak pula ke mulut jendela.

yang angin mengabarkan sebuah keruntuhan, bila api makin merah dan bertambah nyala, mana tanda kehidupan baru itu, atau bisa jadi tertunda.

pada akhir segalanya, yang berasal dari luar : debu tanah, angin, pun kosong semata. melalui ricik akar, dari yang kokoh itu ia bertapa.