Kamis, 06 Agustus 2009

Sayap Jibril

(Cerpen Wahyu Ramadhan, SMAN 2 SEKAYU)

Masih berjalan menuju suatu perbuatan antara hak dan kebatilan. Kususuri tiap terjal batu jalanan gersang dimana kehidupan tak memunculkan batang hidungnya.

Kulalui lalang kering yang nampaknya takkan melestarikan jenisnya lagi. Mata ini mulai pedas, merah, meleleh bagai terkena jilatan api neraka.

Pandangan ini pun mulai kabur entah kemana arahnya. Hingga berhenti pada satu titik terang, dengan dihiasi sedikit bercak-bercak putih. Angkasa. Lalu disusul dengan datangnya kegelapan murni karena kelopak mata yang tlah terlalu lelah memanggul badannya sendiri.

Saat terbangun aku sadar bahwa telah ditemani seorang sahabat berwujud pria yang baik hati, nampaknya. Manusia ini memandangku dengan tatapan yang teduh, melebihi teduhnya pohon beringin yang terbesar sekalipun. Lalu ia bertanya kepada ku .

“Apa yang membuatmu bisa hidup di dunia ini?”

“Mungkin hanya untuk menghias dunia wahai teman.” jawabku.

“Apakah aku tampak sebagai seorang teman bagimu?”

“Apa kau juga ingin ku panggil tuan,wahai teman?”

“Engkau ini hina. Bahkan tak halal untuk disembelih.”

“Mungkin tuanmu bermaksud lain atas keberadaanku.”

Sehabis itu aku terus berjalan bersama manusia ini. Aku terus memandangnya ketika lapar ataupun dahaga. Hingga rasa lapar itu sendiri akan malu untuk menampakkan wujudnya lagi.

Setelah beberapa lama menjalani kehidupan dengan seorang sahabat, aku lelah juga. Heran melihat tonjolan layaknya orang bungkuk yang ada di punggungnya.

“Wahai sahabat, tonjolan apa yang ada di punggungmu itu?” tanyaku padanya.

“Sesungguhnya akan terjadi keburukan lebih dari yang engkau bayangkan jika kau ingin melihatnya.“ ujarnya.

“Dunia ini begitu luas, aku tak mampu jika harus terus berjalan dengan hanya berteman sepi. Mungkin akan lebih bahagia jika ada yang baru.” kataku lagi.

“Apa kau sudah tak percaya lagi padaku?” katanya sedikit membentak.

Aku hanya berjalan, berjalan dan terus berjalan mengikuti langkahnya. Hingga puluhan, bukan. Ratusan tahun! Sampai akhirnya aku tergeletak terlentang, pertunjukan ynag jarang terjadi.

Cepat ia berbalik dan melihat kepadaku. Pandangannya sedikit cemas, walaupun tetap terlihat tenang tanpa keringat. Dibukalah sebelah punggungnya yang menonjol itu. Kemudian direntangkan. Sebuah sayap. Begitu besarnya, menyelimuti bumi. Bayangan hitam yang tadinya akan dating menghampiri, terhalang oleh sayap yang begitu besar itu. Mataku tetap menyempit menuju pejam.

“Jibril, katakan pada tuanmu bahwa bumi ini begitu sempit.”

“Darimana kau tahu aku Jibril?” katanya.

“Kau kira sayapmu itu kurang besar untuk ku lihat. Sudahlah tak usah kau halangi, memang sudah waktuku!”

Anjing yang mati sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar