Kamis, 06 Agustus 2009

Melalui Ricik Akar

(oleh mutiah ayu rasta)

di luar : debu tanah (yang hidup menunggu kalaukalau langit menangis) menatap basah tentang kerinduan daun yang patah, bunga yang menajamkan warna, lalu membelai kita sejurus, juga masuk ke mulut jendela.

angin yang tibatiba lewat, setelah membelai kita, dan bersama gerainya badanbadan tanah, lekuklekuk dan cacing tanah, mengabarkan reruntuhan api yang menandakan kehidupan baru, yang pada mulanya tidak ada, hanya kosong semata.

lalu setelah yang terjadi pun terjadi, segala tanya : pada mulanya, debu dan tanah terpisah, di atas dan di bawah. apa yang membuatnya rindu pada daun dan bunga tanpa patah dan warna, lalu tak pula ke mulut jendela.

yang angin mengabarkan sebuah keruntuhan, bila api makin merah dan bertambah nyala, mana tanda kehidupan baru itu, atau bisa jadi tertunda.

pada akhir segalanya, yang berasal dari luar : debu tanah, angin, pun kosong semata. melalui ricik akar, dari yang kokoh itu ia bertapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar